“ …Milik Allah Swt. apa-apa yang ada di langit dan di bumi…”. (QS. Ali Imron: 109)
Alhamdulillah, saya memiliki rumah mewah empat. Mobil saya tiga. Tanah yang saya miliki hampir mencapai sepuluh hektar. Demikian kata seorang pengusaha bercerita pada saya. Benarkah perkataan ini: bahwa seseorang telah memiliki harta tadi? Benarkah ada hak milik manusia? Berikut saya runut pandangan hak milik dalam sejarah manusia.
Sesuatu yang inheren dalam harta, adalah konsep hak milik. Hak milik inilah yang dikritik oleh kalangan komunisme sebagai akar konflik dalam kehidupan manusia. Karl Marx, sebagai pendiri sosialisme memandang bahwa kehidupan komunal yang tanpa hak milik adalah kehidupan yang ideal. Sebaliknya, kehidupan individual yang mengagungkan hak milik adalah sesuatu yang dimusuhi Karl Marx. Tak heran jika dalam konsep mereka, harta adalah milik bersama. Harta saya adalah harta kita. Istri saya adalah istri kita. Demikian seterusnya.
Konsep Karl Marx merupakan kebalikan konsep Kapitalisme yang mengagungkan hak milik. Bagi kapitalisme, hak milik adalah sesuatu yang sina qua none, sesuatu yang meniscaya. Alur logika kapitalisme kira-kira bergerak demikian: biarlah manusia menuju hak milik. Biarlah mereka berkompetisi dan berebut dengan hak milik (harta). Toh, pada akhirnya, kalau ada sesuatu yang menyimpang, tangan-tangan yang tersembunyi dalam pasar –mereka menyebutnya dengan invisible hand—akan mengoreksi dengan sendirinya. Hak milik-invidualisme adalah cita-cita bersama yang diagungkan dalam pandangan Kapitalisme.
Jika dipikir-pikir, maka sesungguhnya pandangan sosialisme ala Karl Marx lebih sesuai dengan Islam. Seperti yang saya kemukakan di depan, bahwa pemilik alam ini sesungguhnya adalah Allah Swt. Allahlah yang memiliki langit dan bumi seisinya. Gunung misalnya adalah milik Allah. Laut juga milik Allah. Tanah-tanah yang ada di bumi semuanya adalah milik Allah. Angkasa yang sangat luas itu semuanya adalah milik Allah. Secara hakikat, inilah sesungguhnya yang benar dalam konsep Islam.
Karena itu, kepemilikan dalam Islam adalah bersifat tidak hakiki. Tidak hakiki artinya bersifat sementara dan tidak abadi serta hanya berlaku antar sesama manusia saja. Bukti bahwa kepemilikan ini bersifat sementara dan tidak abadi adalah bahwa kepemilikan ini tidak akan berlaku selamanya. Kalau kita punya rumah, maka rumah ini bersifat sementara. Anak cucu kita belum tentu memiliki rumah yang kita miliki sebelumnya. Rumah ini bisa kita jual kepada orang lain sehingga kepemilikan kita akan rumah tadi hilang.
Selain itu, kalau kita renungkan, konsep kepemilikan ini memiliki keterbatasan: kepemilikan ini hanya berlaku antar manusia saja. Buktinya, kalau kita punya rumah, di dalam rumah kita juga tinggal dan hidup makhluk hidup ciptaan Allah yang lain. Misalnya di sana ada semut, nyamuk, katak, laba-laba, cecak, dan makhluk Allah yang lain. Kita tidak bisa mengusir mereka begitu saja karena kepemilikan rumah kita tidak berlaku atas mereka. Mereka juga punya hak milik serupa atas tanah ciptaan Allah Swt tersebut.
Itulah makanya dalam Islam—berbeda dengan komunisme—dikenal konsep istikhlah. Istikhlaf adalah pengakuan hak milik manusia, namun hanya bersifat sementara. Dalam Istikhlaf, Allah Swt. mewakilkan pada manusia untuk memiliki sementara sesuatu yang ada di bumi. Dengan demikian, kepemilikan manusia dalam Islam hanya bersifat majazi atau tidak hakiki.
Terus terang, saya lebih familiar menggunakan istilah “hak pakai” saja dalam soal harta. Hak pakai ini diberikan Tuhan karena Tuhan memberikan pinjaman pada kita semua. Tuhan memberi pinjaman kita: rumah, mobil, binatang ternak, sawah, tanah dan harta-harta yang lain untuk kita pakai atau gunakan sebaik-baiknya dalam kehidupan. Tujuan akhirnya (ghayah) bukan pada harta ini, melainkan pada bagaimana harta ini dijadikan wasilah, sarana untuk menuju pada Tuhan. Sarana untuk mendekatkan diri kita, bukan malah menjauhkan kita pada Tuhan. Sarana untuk lebih khusuk menyembah dan mengabdi pada Tuhan semesta alam.
Kalau orang diberi anugerah gelimang harta oleh Tuhan namun lupa dengan mengabdi pada Tuhan, maka sesungguhnya orang ini telah “salah jalan”. Ia lupa bahwa tujuan hidup sesungguhnya adalah liya’ buduni, untuk menyembah-Ku (Tuhan).
Wallahu’alam. **
Dikutip dalam buku Bersedekahlah, Anda Akan Kaya dan Hidup Berkah karya Prof. Dr. Kiai M. Noor Harisudin, M.Fil.I