Donasi Makan Bergizi Gratis; Zakat No, Infak Yes

Oleh: M. Noor Harisudin*

Terlalu dini usulan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Sultan Bachtiar Najamudin, untuk mendukung Program Makan Bergizi Gratis -selanjutnya disingkat MBG- melalui dana Zakat  (20/1/2025; Suara Merdeka). Mengapa? Karena program MBG ini baru berjalan. Ada banyak hal yang perlu mendapat perhatian. Misalnya evaluasi penerima manfaat, produk makan bergizi, jalur distribusi dan sebagainya. Sesungguhnya, beberapa hal ini yang perlu mendapat perhatian pemerintah di masa awal program MBG. Satu hal yang tidak kalah penting; program MBG yang keren ini tidak boleh menjadi ‘sarang’ korupsi baru.

Namun, usulan Ketua DPD RI ini juga realistis mengingat pemerintah yang ingin menambah jumlah penerima manfaat program MBG. Saat ini, anggaran program MBG yang telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 71 triliun untuk 15 juta hingga 17,5 juta penerima. Sebagaimana diketahui, dibutuhkan setidaknya tambahan anggaran dengan nilai Rp 100 triliun sehingga penerima manfaat menjangkau 82,9 juta penerima makan bergizi gratis di bulan September 2025.

Wajar jika upaya untuk menambah dana ini direncanakan dari sumber lain. Salah satunya dari dana zakat yang melimpah. Apalagi, Indonesia merupakan negara paling dermawan di dunia. Pertanyaannya: apakah diperbolehkan menggunakan dana zakat untuk program MBG yang mencakup semua anak didik, termasuk anak orang kaya dan berkecukupan?

Delapan Golongan

Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. (UU. No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat).

Orang yang memberikan zakat –disebut muzakki– dalam hemat saya, tidak ada problem. Problemnya terdapat pada penerima zakat (mustahiquz zakat). Usulan MBG yang diupayakan dari dana zakat, tentu akan sulit diterima karena aspek penerima zakat yang sudah tertentu yang disebut dengan atsnafuts tsamaniyah (Delapan golongan penerima zakat). Atsnafuts tsamaniyah ini yang membedakan antara zakat, infak dan wakaf.

Delapan orang yang berhak menerima zakat telah disebut dalam QS. At-Taubah ayat 59 sebagai berikut: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”.

Para ulama mem-break down ayat ini dengan menyebut delapan golongan penerima zakat. Diantaranya fakir (orang yang tidak memiliki penghasilan dan serba kekurangan), miskin (orang yang memiliki penghasilan, namun masih kekurangan), amil (orang yang diangkat pemerintah untuk mengelola zakat), mualaf (orang yang baru masuk Islam), riqab (budak), gharim (orang yang berhutang), fi sabilillah (orang yang berperang di jalan Allah) dan ibnu sabil (orang yang sedang bepergian). (Yusuf Qardlawi: 1973)

Dari delapan ini, makna yang longgar sesungguhnya ada kata fi sabilillah. Menurut jumhur ulama, fi sabilillah adalah al-ghazi fi sabilillah (orang yang berperang di jalan Allah). Tentang sabilillah, Imam Qaffal –mengutip dari sebagian fuqaha– menyatakan bahwa para fuqaha memperkenankan menyerahkan zakat pada semua bentuk kebajikan seperti mengurus mayat, mendirikan benteng dan meramaikan masjid. Menurut pandangan ini, terma fi sabilillah dalam ayat ini bersifat umum dan meliputi semuanya. Sementara Yusuf Qardlawi lebih memilih fi sabilillah dengan makna jihad. Artinya, dana zakat untuk keperluan jihad baik makna khusus berperan (orang yang berperang di jalan Allah) maupun makna umum berupa jihad melalui tulisan, lisan, tenaga dan sebagainya untuk berbagai kepentingan dakwah dan syiar Islam. (Yusuf Qardlawi: 1973)

Walhasil, dana zakat hanya khusus untuk orang-orang mustadl’afin, yaitu pada delapan golongan yang menjadi penerima manfaatnya (mustahiq). Sebaliknya, dana zakat tidak boleh digunakan untuk orang kaya. Rasulullah Saw bersabda: “Tidak halal sedekah (zakat) untuk orang kaya” (HR. Abu Dawud dan Tirmudzi). Termasuk anak-anak sekolah yang bukan fakir atau miskin, mereka tentu tidak termasuk mustahik zakat.

Infak untuk MBG?

Sejatinya, selain zakat, ada juga wakaf dan infak yang dapat dijadikan pertimbangan pemerintah untuk digunakan program MBG ini.

Berbeda dengan zakat, infak lebih fleksibel. Infak atau shodaqah adalah pemberian kepada orang lain karena semata-mata karena Allah Swt. Para ulama mengatakan bahwa penerima manfaat infak atau shodaqah boleh bahkan pada orang kaya sekalipun. Dalam kaidah fikih dikatakan, an-naflu ausau minal fardli. Artinya, ibadah yang sunah lebih longgar daripada ibadah yang wajib. Para ulama menyebut infak atau shodaqah sebagai shodaqah yang sunah (as-shadaqat al-masnunah). Sementara, zakat disebut sebagai shodaqah yang wajib. (as-shadaqat al—wajibah).

Namun perlu digarisbawahi bahwa infak atau shodaqah yang diperbolehkan adalah infak yang bersifat umum untuk kemaslahatan rakyat atau juga infak yang menyebut langsung untuk kepentingan program MBG. Sebaliknya, infak yang digunakan secara khusus misalnya untuk membangun masjid, menyantuni anak yatim, dan sebagainya, harus digunakan sebagaimana peruntukan yang disebut donatur.

Dana hasil wakaf juga bisa digunakan untuk membantu program MBG. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah. (UU. No. 41 tahun 2024 tentang Wakaf).

Sekali lagi, bukan dana wakaf, tapi hasil dana pokok wakaf juga dapat digunakan untuk kemaslahatan umum. Misalnya wakaf untuk aset produktif lahan pertanian, hasilnya dapat digunakan untuk menopang program makan bergizi gratis. Meski pemerintah juga sudah saatnya membantu lembaga wakaf dengan pemberian aset-aset produktif seperti Wakaf Hotel (Malaysia) sehingga sewaktu-waktu hasilnya dapat digunakan untuk membanttu program pemerintah. Harta pokok wakaf harus tetap, yang boleh digunakan adalah hasil dari pokok wakaf tersebut.

Lebih dari itu, pemerintah sesungguhnya juga bisa mengambil dana dari sumber-sumber yang selama ini masih belum dioptimalkan untuk pembangunan. Misalnya Corporate Social Responsibility (CSR) berbagai perusahaan di Indonesia juga bisa digunakan unuk mendukung program MBG. Demikian juga, APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) juga dapat digunakan menguatkan program Presiden Prabowo ini. Serta sumber dana lain yang halal dan bisa memperlancar program MBG tersebut. Wallahu’alam. *

*M. Noor Harisudin adalah Guru Besar UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember dan Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *